Judul buku: European Universalism, The Rhetoric of Power
Penulis: Immanuel Wallerstein
Penerbit: The New Press
Tebal buku: xv + 94 halaman
Tahun terbit: 2006
Siapa tidak kenal Immanuel Wallerstein? Ialah pencetus teori sistem dunia yang menjadi salah satu pembahasan paling fenomenal dari studi pembangunan. Namun pada bukunya yang satu ini, dia tetap tidak bisa lepas dari teori yang ia gagas, tapi membahas mengenai intervensi yang dilakukan oleh Eropa terhadap negara jajahan mereka. Semua dilegitimasi pasca adanya abad pencerahan dimana Orang Eropa mengganggap mereka lah yang paling beradab. Dan anggapan macam ini yang selalu mereka tularkan guna mempengaruhi perkembangan sejatah dunia, dimana mereka selalu pada titik puncak.
Hak siapa untuk melakukan intervensi?” adalah judul pada bab pertama buku ini. Kalimat itu menggambarkan pertarungan antara keberadaban Eropa melawan kebiadaban “yang bukan eropa”. Sebagian besar sejarah dunia adalah bagian dari ekspansi negara-negara Eropa dan orang-orangnya ke seluruh penjuru dunia dan hal ini adalah dasar dari kemunculan sistem kapitalisme dunia. Mereka (Orang Eropa) melakukan ekspansinya dengan penaklukan militer dan juga eksploitasi ekonomi dengan sebuah hasil yakni “Ketidakadilan”. Justifikasi terhadap ekspansi yang mereka lakukan adalah bahwa ekspansi tersebut membawa pertumbuhan ekonomi, kemajuan, peradaban dan pembangunan negeri, pada ujungnya kata-kata ini digunakan untuk mengartikan ekspansi tersebut sebagai “Nilai Universal”, bahwa ekspansi ini tidak hanya penting bagi umat manusia, tapi juga tidak terelakkan. Bagi orang Eropa, hal tersebut bagus, tapi bagi negeri yang dijajah, kedatangan orang-orang Eropa hanya menjadi bencana yang berujung pada kemiskinan dan perbudakan.
Apa yang menjadi justifikasi tidak sesuai dengan realitas dilapangan (di negeri jajahan), tidak semegah apa yang ada dalam justifikasi tersebut. Buku ini menggunakan konteks ekspansi Spanyol terhadap Amerika Latin. Apa yang dilakukan Spanyol terhadap penduduk asli Amerika Latin menuai perdebatan dikalangan intelektual sendiri, dalam kasus ini, yang paling terkenal adalah Las Casas melawan Sepulveda, namun saya akan lebih membahas Las Casas. Las Casas adalah seorang pendeta yang melihat bahwa tindakan Spanyol telah melayangkan banyak nyawa orang tidak bersalah sebagai collateral damage, perilaku Suku Indian yang kafir lebih baik ketimbang apa yang dilakukan Spanyol dengan membunuh orang tak bersalah, apalagi atas nama Yesus Yang Maha Pengasih. Lalu ketika mereka melihat tindakan orang Spanyol itu, apakah orang-orang kafir tersebut akan tertarik untuk masuk agama Kristiani? Tidak. Bagi Las Casas, sungguhlah dosa besar melakukan pembunuhan atas nama agama. Adapun menurutnya, orang-orang kafir itu melaksanakan agamanya bukan karena ketaatan kepada Dewa nya yang membabi-buta, tapi karena mereka tidak pernah mendengar nama “Yesus” sebelumnya. Adapun argumen ini diperkuat dengan argumen lain yang digunakan Las Casas, yakni jurisdiksi dengan contoh di daerah yang dikuasai oleh umat kristiani, penduduk yang beragama Islam dan Yahudi wajib menaati aturan tersebut karena tinggal di daerah kekuasaan Kristen. Mereka (umat Islam dan Yahudi) bisa dihukum karena melanggar peraturan tersebut, tapi tidak bisa dihukum karena memiliki agama yang berbeda. Untuk permasalahan “pengkafiran”, tidak bisa umat kristen menuding umat islam atau yahudi sebagai kafir, karena mereka tidak pernah mendengar doktrin kristen, begitupula sebaliknya, dan mereka pun tidak berhak untuk mengeksekusi dengan alasan perbedaan agama, kafir atau tidak adalah Tuhan sendiri yang menentukan.
Pada abad kedelapanbelas, perdebatan mengenai invasi Eropa ke daerah-daerah lain sudah mulai menyurut. Dunia Eropa sudah menerima legitimasi terhadap kolonialisasi daerah-daerah “barbar”. Namun Eropa sendiri menganggap daerah Asia yang mereka jajah memiliki peradaban yang tinggi. Meskipun seperti itu, tetap secara politik maupun ekonomi, mereka tersurbordinasi oleh Eropa yang selalu melakukan eksploitasi ekonomi. Eropa pun berusaha mencari akar sejarah mereka untuk mengangkat derajatnya agar mereka dapat membenarkan perilaku yang mereka lakukan (eksploitasi ekonomi) dan selalu menyebutkan bahwa mereka lah yang memproduksi “Modernitas” dan mereka lah yang berhak melakukan intervensi kepada “yang-bukan-Eropa”. (rez)