Judul Buku: Naked Imperialism
Penulis: John Bellamy Foster
Penerbit: Monthly Review Press
Tebal Buku: 192 halaman
Tahun Terbit: 2006
John Bellamy Foster adalah seorang Marxis dari Universitas Oregon yang juga salah satu dari penyunting Monthly Review. Dia kerapkali menulis mengenai kritik terhadap kapitalisme dan imperialisme seperti budaya intelektual marxis. Namun yang membedakan esai yang ia tulis adalah kritik tersebut ditujukan kepada agenda pelaksanaan kapitalisme dan imperialisme dari suatu negara terhadap negara lainnya. Marxisme dia gunakan sebagai pisau analisa, beserta ekologi. Dia memang berfokus kepada lingkungan dan terkadang berbicara mengenai kebijakan politik suatu negara yang mencederai alam. Esainya begitu banyak dalam monthlyreview.org sehingga penerbit tersebut membukukannya, salah satu kumpulan esai ini adalah buku ini. Akan cukup lama jika membaca semua babnya, maka saya akan meresensi salah satu bab dengan ideologi yang paling menarik sekaligus mengganggu: Imperialisme.
Imperialisme ditujukan untuk mengabdi kepada kelas penguasa lebih daripada kepada sebuah bangsa. Hal itu tidak ada hubungannya dengan demokrasi. Mungkin karena alasan itu, imperialisme selalu dikarakteristikkan dengan fenomenanya yang parasitis. Imperialisme sejatinya adalah produk dari sebuah kelompok individual yang sangat kuat yang telah membajak kebijakan luar negeri dari suatu negara untuk kepentingan mereka sendiri. Imperialisme di abad kesembilanbelas dan abad keduapuluh dibedakan oleh dua fitur utama: pertama, runtuhnya hegemoni Inggris Raya dan yang kedua adalah munculnya monopoli kapital atau kapitalisme yang didominasi oleh firma-firma besar yang berujung pada produksi yang terpusat.
Kapitalisme adalah sebuah sistem yang didorong oleh keinginan untuk menghitung dan berhitung, yang tidak menerima batasan akan perkembangannya. Kapitalisme telah memperluas ekonomi dunia dengan apa yang kita sebut sebagai globalisasi, dan disisi lain dipecah belah secara politik untuk negara-negara yang saling bersaing satu sama lain. Sistem ini dipecah menjadi Pusat dan Periferi. Kapital di tiap negara-bangsa yang berada dipusat dari sistem dunia ini didorong akan kebutuhan untuk menguasai akses terhadap bahan mentah dan tenaga kerja di daerah periferi (negara pinggiran, contoh: Indonesia).
Imperialisme berusaha untuk berubah dan melampaui batasan-batasan dari kapitalisme. Namun berakhir setelah perang dunia kedua dimana banyak pergerakan untuk dekolonialisasi di negara-negara jajahan, yang pada akhirnya Amerika Serikat menggantikan Inggris sebagai negara hegemonik (negara adikuasa). Dan disisi lain muncul Uni Soviet sebagai kekuatan tandingan dimana membawa semangat revolusi yang berapi-api di negara dunia ketiga. Amerika menggunakan hegemoninya dengan mencetuskan perjanjian Bretton Woods, dimana World Bank, IMF dan GATT (untuk memahami lebih lanjut tentang tiga organisasi ini, silakan membuka resensi saya dengan judul “Kekaisaran Finansial Dunia”) didirikan dengan tujuan memperkuat kontrol ekonomi yang diterapkan oleh negara-negara pusat, Amerika Serikat secara khusus kepada negara periferi dan kepada seluruh dunia. Cara inilah yang kita sebut dengan imperialisme model baru (Neo-Imperialisme).
Dalam pemetaan imperialisme masa kini, analisa Magdoff menyuguhkan bukti akan keuntungan langsung dari imperialisme terhadap kapital didalam pusat dari sistem dunia. Menyerap keuntungan dari negara periferi adalah salah satu faktor utama dalam melanggengkan keterbelakangan di negara dunia ketiga (terkadang juga disebut negara periferi atau negara satelit). Ada dua aspek dari penilaian Magdoff terhadap masalah ini: peringatan terhadap jebakan hutang di negara dunia ketiga (dalam bentuk pinjaman atau loans) dan perlakuan khusus terhadap peran global dari bank dan modal uang secara umum. Belum lagi imperialisme yang dibawa oleh Amerika Serikat menjadi sebab peperangan di Vietnam dan Perang Teluk.
Harapan terbesar untuk melawan keberadaan imperialisme yang digelontorkan oleh Amerika Serikat adalah arus besar revolusi dari bawah (atau golongan bawah: masyarakat). Munculnya gerakan antiglobalisasi yang mencuat pada tahun 1999 di Seattle yang berlanjut pada tahun 2003 dengan gelombang terbesar demonstrasi anti-peperangan dalam sejarah manusia. Tidak pernah sebelumnya penduduk dunia bangkit begitu cepat dalam menghadang laju imperialisme beserta peperangan yang dibawanya. Zaman baru bagi imperialisme jugalah zaman baru untuk revolusi, memang perlu masyarakat dunia menghadang keberadaan dari Imperialisme. (rez)