Judul Buku: The New Prophets of Capital
Penulis: Nicole Aschoff
Penerbit: Verso
Tebal buku: 154 halaman
Tahun terbit: 2015
Punya perusahaan besar itu tidak mudah. Konsekuensinya adalah harus tahan dituding-tuding sebagai kapitalis yang serakah. Bill Gates merasakan sendiri tudingan pahit itu ketika Microsoft terkena kasus hukum antimonopoli Amerika Serikat. Microsoft dituduh melakukan monopoli dan terlibat dalam tindakan anti-kompetisi. Pasalnya, Microsoft menjual peramban web Internet Explorer yang dipaketkan dengan sistem operasi Microsoft Windows. Saat itu, peramban web seperti Netscape Navigator dan Opera tidak dapat diunduh atau dipasang secara gratis. Tindakan Microsoft tersebut dianggap membatasi pasar peramban web dan menyalahgunakan kekuasaan monopoli. Kasus ini diangkat oleh Departemen Kehakiman AS, 18 negara bagian, dan Washington DC yang disidangkan antara tahun 1998-2001. Setelah kasus antimonopoli, film Antitrust yang merupakan sindiran terhadap kekejaman, ketamakan, dan monopoli Bill Gates muncul di tahun 2001.
Semua itu adalah gambaran tentang Bill Gates 20 tahun yang lalu. Kini kita melihat Bill dan Melinda Gates yang begitu disanjung-sanjung atas tindakan filantropis mereka. Bahkan baru-baru ini Gates Foundation setuju untuk membayar hutang vaksinasi polio Nigeria ke Jepang sejumlah 76 juta dolar. Nicole Aschoff menyebut apa yang dilakukan Gates Foundation sebagai philantrocapitalism. Dimana kelompok 1% orang-orang terkaya di AS mengarahkan sejumlah besar uangnya untuk tujuan sosial dan kemanusiaan. Mereka ingin memanfaatkan kekuatan kapitalisme yang telah membuat mereka luar biasa kaya untuk membantu seluruh orang.
Kekuatan organisasi non-pemerintah, seperti Gates Foundation, Amnesty International, CARE, Oxfam, dan lain-lain, semakin penting sejak runtuhnya sistem Bretton Woods di tahun 1970-an dan krisis hutang Amerika Latin di tahun 1980-an. Proyek Pembangunan yang diganti menjadi Proyek Globalisasi ternyata justru menyebabkan berbagai krisis ekonomi dan kemanusiaan, memperlebar jurang ketimpangan. Untuk memperbaiki semua itu, lembaga internasional seperti PBB, Dana Moneter Internasional, dan Bank Dunia mendorong negara-negara kurang beruntung (negara miskin) untuk melibatkan organisasi non-pemerintah internasional dalam program perbaikan sosial-ekonominya. Organisasi semacam ini dianggap dapat bekerja lebih efisien dan lebih tahu banyak hal dibanding institusi lokal. Mereka dapat bekerja dengan sangat baik karena beberapa di antaranya punya pendanaan yang sangat besar. Misalnya Amnesty Internasional yang anggaran tahunannya lebih besar (295 juta dolar) daripada Dewan HAM PBB (177 juta dolar) berdasarkan data tahun 2012.
Kemunculan berbagai organisasi non-pemerintah dipicu oleh meningkatnya kesenjangan akibat semakin banyaknya orang-orang super kaya. Fungsinya sebagai semacam katup yang membebaskan ‘dosa-dosa’ kapitalisme. Sekarang, pertanyaan pentingnya adalah: kenapa mereka mau berdonasi sedemikian banyaknya setelah menghasilkan miliaran dolar? Beberapa berpendapat semua itu untuk keringanan pajak, atau sederhananya karena merasa itu sebagai kewajiban warga negara. Pendekatan yang lebih ideologis menyatakan bahwa orang-orang kaya mau memutuskan sendiri apa yang ingin ia lakukan dengan uangnya daripada menyerahkannya kepada negara begitu saja.
Dalam kasus Bill Gates, sangat mungkin salah satu alasannya untuk menjadi filantropis dipicu oleh kasus yang pernah membelit perusahaannya. Dalam suatu wawancara ketika itu, Gates menyatakan akan dengan senang hati menyerahkan keberuntungannya agar masalah antimonopoli hilang. Selain itu, kematian ibunya akibat kanker payudara di tahun 1994 yang sempat menasihatinya untuk menyegerakan cita-cita filantropisnya bisa jadi turut menjadi pemicu bagi Gates. Terlepas dari berbagai motif yang mungkin mendasari Gates dalam melakukan tindakan filantropisnya, menurut Aschoff, cara-cara yang Gates gunakan dalam mendonasikan uangnya bisa dibilang kreatif_._ Seperti tindakannya yang mendanai riset kesehatan agar vaksin segera tersedia. It’s a creative capitalism.
Bagaimanapun, Gates Foundation adalah lembaga swasta. Kehendak mereka untuk memutuskan bagaimana sejumlah besar uangnya digunakan tidak dapat diatur dan diketahui. Harapan tentang dunia yang lebih baik beserta rencana-rencana yang hendak diwujudkannya bukan milik pemerintah. Bagi pemerintah AS, organisasi seperti Gates Foundation beserta Rockefeller, Carnegie, Buffet, Ford, Open Society Foundation, dan lainnya, sangat tidak demokratis. Karena mereka melakukan apapun yang mereka inginkan dengan uangnya. Tidak ada proses demokratis tentang bagaimana rakyat bisa menentukan kegunaan uang tersebut.
Tidak hanya ‘cerita’ tentang Bill dan Melinda Gates yang disuguhkan Nicole Aschoff dalam buku ini. Tersaji pula ‘cerita’ tentang Sheryl Sandberg, Chief Operating Officer Facebook, yang memprakarsai Lean In Foundation. Sebuah yayasan yang mendukung kesamaan kesempatan bagi perempuan dalam menduduki posisi penting dalam lingkungan kerjanya. John Mackey dengan Whole Foods Market-nya. Seorang pendukung pasar bebas. Serta Oprah Winfrey, cerminan kapitalisme spiritual yang menekankan pada pesan-pesan pemberdayaan diri. Sebagai editor di majalah new left Amerika, Jacobin, dan dosen Sosiologi di Boston University, ia dapat menjelaskan dengan ringan dan mudah dipahami. Kita pun akan sangat jarang menemukan istilah yang sulit dicerna yang biasanya bertebaran di buku-buku bertema kapitalisme.
Membaca buku ini kita seperti membuka lapisan-lapisan cerita sukses orang-orang terkaya dunia sembari menyadari bahwa solusi mereka tidak akan menyudahi ketimpangan sosial-ekonomi, menghapus kemiskinan, ataupun menyelesaikan masalah lingkungan. Tujuannya bukanlah redistribusi pendapatan. Yang mereka lakukan adalah memelihara sumber daya manusia, institusi, dan mempertahankan struktur yang mendasari kapitalisme sejak lama. Agar orang-orang menopang dan memperkuat sistem tersebut untuk jangka panjang. Singkatnya, jangan mudah diperdaya kapitalisme dan jangan gentar terhadap tantangan sosial-ekonomi di masa depan. (ich)