Judul Buku: Korupsi Dalam Silang Sejarah Indonesia
Penulis: Peter Carey dan Suhardiyoto Haryadi
Penerbit: Komunitas Bambu, Jakarta
Tebal Buku: liii + 208 halaman
Cetakan: Pertama, Desember 2016
Kata korupsi tentu tak asing lagi bagi kuping orang Indonesia. Setiap tahun, bulan bahkan hari pasti ada saja kabar koruptor, belakangan kabar santer korupsi e-KTP. Dalam sejarah di negeri ini, korupsi layaknya sudah menjadi budaya buruk birokrasi di Indonesia. Bahkan bisa dilacak sampai sebelum kemerdekaan. Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukan berarti negara ini benar-benar siap dalam memberantas korupsi, tetapi justru karena instansi pemberantas korupsi seperti Pengadilan dan Kepolisian malah terjangkit praktek korupsi. Sudah sering diberitakan, kasus-kasus korupsi dalam bentuk suap mulai dari permasalahan proyek pemerintah hingga memberi “uang damai” saat akan ditilang.
Buku ini merupakan pionir dalam menelusuri sejarah korupsi di Indonesia. Belum ada buku tentang korupsi di Indonesia melalui sudut pandang sejarah sejak pra-kemerdekaan. Bahkan negeri khatulistiwa ini masih bernama Hindia-Belanda, praktek korupsi itu sudah mewabah. Peter Carey dan Suhardiyoto Haryadi layak diapresiasi dalam soal ini. Peter Carey saat ini dikenal sebagai guru besar tamu di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia dan pernah mengajar sejarah modern di Universitas Oxford. Sedangkan Suhardiyoto Haryadi adalah mantan wartawan yang pernah menempuh pelatihan di Universitas Oxford pada tahun 1999. Keduanya sudi bersusah-payah menelusuri jejak langkah praktek korupsi di Indonesia.
Kisah dalam buku diawali dengan kehadiran Gubernur Jendral asal Perancis, Herman Wilhelm Daendels. Pria yang sohor dengan sebutan ‘Tuan Geledek’ ini ditunjuk Raja Louis dari Belanda, untuk koloni Pulau Jawa. Tentu saja, selama ini Daendels sudah kondang sebagai pembangun Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan. Namun, sebenarnya Daendels juga mengenalkan budaya berbusana dan etiket sosial baru yang menjadi pondasi Pemerintahan Indonesia dan sekaligus memberantas korupsi pasca-VOC.
Daendels merupakan reformis Pemerintahan Hindia-Belanda. Ia turun tangan langsung melacak dan menghukum para bekas pejabat VOC yang korup. Sejarah mencatat, faktor utama kejatuhan VOC adalah korupsi ini. Kehidupan pejabat VOC berfoya-foya sembari abai administrasi bersih. Daendels tidak bisa menerima keadaan semacam itu. Pria berjuluk ‘Marsekal Guntur’ ini segera membabat praktek-praktek korupsi. Wataknya yang keras tanpa kompromi menjadikan Daendels sebagai sosok menakutkan bagi pejabat korup. Pengawasan terhadap liku-liku administrasi pada masa VOC rupanya memang longgar serta rentan terhadap modus korupsi. Daendels tahu soal itu, dan ia kemudian memprakarsai pemerintahan sentralistik.
Daendels tidak mentolerir keberadaan pemerintahan Pantai Timur Laut Jawa warisan VOC. Ini merupakan langkah awal pemberantasan korupsi di Hindia-Belanda. Dengan pembubaran itu, maka pemerintahan Hindia-Belanda terpusat di Batavia. Langkah tersebut mempermudah Daendels mengawasi bawahannya. Sebelumnya, pemerintah Pantai Timur Laut Jawa terkenal korup. Para pejabat di sepanjang pantai ini seringkali mendapatkan penghasilan dari pasar gelap. Karena penghapusan ini, maka terjalinlah hubungan langsung antara gubernur jenderal dengan residen yang berada di keraton Jawa Tengah dan daerah Selatan. Ini titik awal pemberantasan korupsi di Indonesia.
Zaman berganti. Daendels hengkang dari Jawa, datanglah Thomas Stamford Raffles, komandan Inggris. Birokrasi tanah Jawa berganti majikan, tapi semangat anti-korupsi tetap berjalan. Raffles tetap melanjutkan birokrasi melawan praktek korupsi di tanah Jawa. Pengawasan khas ala Inggris diberlakukan, semakin mempertinggi arus informasi ketidakberesan dari tingkat bawah ke manajemen pemerintah terpusat Raffles. Sebagai orang terpelajar, Raffles kerap merujuk pada upaya-upaya pemberantasan korupsi di negeri asalnya, Inggris. Jika Daendels adalah pionir anti-korupsi di Indonesia, maka Raffles merupakan sosok pelanjut kebijakan anti-korupsi tersebut. Ia memang terpesona pada alam tanah Jawa dan Sumatera, namun Raffles tetap waspada terhadap berbagai intrik pemerintahan berujung korupsi.
Memasuki pertengahan abad ke-19, hubungan damai antara Belanda dan Inggris usai penanda-tanganan perjanjian London 1824 menjadikan Belanda bisa kembali fokus pada birokrasi Hindia Belanda. Langkah-langkah Raffles dalam pemberantasan korupsi memang mujarab, sehingga penulis buku ini menyarankan agar reformasi di Indonesia perlu pula belajar dari Inggris. Negeri itu telah bergelut dengan kasus-kasus penanggulangan korupsi sejak periode 1660-1830.
Pada abad ke-18 Inggris menjadi salah satu negara di Eropa yang korup. Praktek suap dari tuan tanah mewarnai pemilihan kandidat Majelis Kecil di perkotaan. Begitupula, korupsi merajalela di birokrasi pemerintahan. Untuk menanggulangi ini, Inggris membentuk Komisi Khusus Parlemen Inggris guna memeriksa laporan keungan negara. Di era kini, Indonesia telah punya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang juga acap melansir laporan-laporan keuangan lembaga negara. Hanya saja, upaya keras memberantas korupsi di Indonesia tetap butuh lembaga ad hoc yang sekiranya bisa berfungsi bak ‘Daendels’ di masa modern. Geledek anti-korupsi di saat harus bersih-bersih, seperti sapu bersih kasus korupsi e-KTP. (rez)