Judul Buku: Fake Stuff
Penulis: Yi-Chieh Jessica Lin
Penerbit: Routledge
Tebal Buku: 88 Halaman
Tahun Terbit: 2011
ISBN: 9780415883030
Siapa yang tidak pernah membeli barang bajakan? Tanpa mengurangi rasa hormat, pasti kebanyakan para pembaca suka membeli barang bajakan. Faktor utamanya adalah mahalnya harga barang otentik/asli ketimbang barang bajakan tapi dengan merk yang sama. Kalau kita mengenalnya dengan sebutan Barang KW. Hampir segala macam merk pakaian, tas, sepatu, jenis fashion lainnya juga memiliki KW-nya masing-masing. Barang KW lah yang dapat menyentuh lapisan paling bawah masyarakat sehingga mereka masih update style dan fashion tiap waktu.
Tanpa bermaksud memberikan cap yang buruk, tapi tidak jarang barang-barang KW atau palsu tersebut terdapat tulisan Made in China (buatan Cina). Hal ini yang membuat saya membeli buku ini dan ingin mengulasnya. Sebuah karya lulusan Harvard University, penulisnya merupakan asisten profesor di National Chung-Hsing University di Taiwan. Ia memang menggeluti disiplin Antropologi. Kajiannya yang kali ini membahas tentang Antropologi Barang, dengan tema: Barang Palsu (atau Barang KW atau Barang Bajakan). Ia menghubungkan keberadaan barang-barang ini dengan perekonomian Cina sebagai negara yang sedang bangkit.
Lin sendiri tidak memungkiri bahwa Cina memang salah satu produsen terbesar dari barang-barang KW. Tidak jarang kita menemukan merk buatan Cina yang memper (sama) dengan nama merk perusahaan internasional seperti iPhone menjadi Hi Phone dan APhone. Perubahan nama ini adalah salah satu bentuk counterfeit goods (barang palsu) dengan harga yang sangat miring. Tidak hanya sebagai produsen, Cina juga menjadi pasar dari barang-barang palsu ini.
Penulis berusaha mengartikan barang KW/ bajakan/ palsu sebagai: (1) penggunaan merk atau cap tanpa seizin pemilik merk, (2) kemiripan nama merk dengan sengaja, (3) penjualan tanpa izin terhadap barang-barang ber-merk atau stok lebih. Pengertian barang-barang KW untuk mempermudah pemahaman para pembaca karena buku ini memang ditujukan untuk mahasiswa. Adapun barang palsu menciderai Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Tiga pasar utama dari persebaran barang KW di Cina adalah Shanghai, Beijing, dan Shenzhen. Pembahasan mengenai barang palsu ini menantang karena pastinya tidak ada yang blak-blakan mengatakan bahwa barang yang ia jual adalah barang palsu. Ada kerahasiaan yang menjadi tantangan tersendiri bagi peneliti di lingkup barang KW.
Barang bajakan ini terus berkembang karena kebutuhan masyarakat terhadap barang murah tapi ingin mendapatkan sebuah merk yang tenar atau setidaknya merk yang hampir sama dengan merk yang kondang. Sehingga yang dibeli oleh masyarakat sebenarnya bukan hanya barang akan tetapi simbol yang melekat pada barang tersebut. Pembeli barang KW tidak peduli apakah barang yang ia beli itu palsu atau asli selama barang tersebut dapat memenuhi hasratnya akan sebuah merk. Simbol adalah sebuah nilai tambahan dalam barang namun memiliki faktor yang besar apakah sebuah barang akan dibeli atau tidak.
Harga-harga barang dari barang KW (shanzai) sangatlah murah, salah satu contoh yang diberikan oleh Yi adalah handphone bajakan. Tidak jarang namanya hampir-hampir sama dengan merk asli/ otentiknya seperti Sony menjadi SCNY, Anycall menjadi Anycat. Perubahannya hanya satu dua huruf saja namun terkadang kita tidak bisa membedakan jauh antara yang asli dan yang palsu.
Penulis juga melakukan analisis biaya terhadap shanzai seperti komponen dengan kualitas rendah, tempat pembuatan bukan pabrik melainkan rumah privat, tidak memiliki layanan pelanggan, tidak memiliki kontrol kualitas, distribusi berbasis jejaring, tidak diiklankan, tidak ada manajemen merk, logo yang dipalsukan secara yang menyerupai logo kondang dengan sengaja, menghindari operasi pajak dan dijual di retail-retail elektronik. Hal-hal diatas lah yang menjadikan harga barang bajakan sangat murah tapi produsennya masih mendapatkan untung yang sangat besar.
Dengan penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh Yi, saya menjadi paham kenapa orang tua dari teman saya melarang membeli handphone dari Cina karena salah satunya adalah kualitas rendah namun produsennya sangat diuntungkan dari penjualan handphone tersebut. Memang telepon genggam menjadi salah satu topik utama yang diulas oleh penulis karena perkembangan pesatnya. Meskipun melawan HAKI dengan melakukan sedikit modifikasi, namun telepon genggam shanzai ini memenuhi kebutuhan pasar. Inovasi yang mereka lakukan merupakan inovasi yang dibutuhkan oleh kalangan menengah ke bawah sehingga pasar mereka sangat pesat akan permintaan (demand).
Menariknya, para pemalsu dan pembajak ini juga tidak bebas dari pembajakan. Ada barang bajakan yang berusaha membajak barang bajakan lainnya yang sudah sukses, inilah barang bajakan dari barang bajakan. Sebuah ironi yang lucu nan menarik karena hal seperti itu adalah resiko dari bajak membajak. Tindakan pemerintah Cina terhadap barang shanzai pun masih belum jelas, ada pejabat yang menganggap barang tersebut sebagai ancaman terhadap barang asli, namun ada yang melihat shanzai sebagai produk dari demokrasi dan budaya populer sehingga mendukungnya.
Buku ini penting untuk dibaca oleh mereka yang sedang berdagang, mahasiswa, dan siapapun yang bekerja dengan menghadapi atau bersentuhan dengan produk Cina untuk memahami sifat dari barang-barang Cina tersebut. Apalagi Indonesia akan menghadapi kerjasama dengan Cina dalam bentuk One Belt One Road (OBOR) atau juga disebut Belt and Road Initiatives (BRI). Apakah OBOR akan membawa gelombang barang palsu ke dalam Indonesia ataukah justru barang-barang semacam itu memang ditunggu-tunggu oleh penduduk Indonesia? Pertanyaan inilah yang menjadi alasan saya kenapa membeli buku ini (selain juga karena diterbitkan oleh penerbit kondang, Routledge). (rez)