Bisakah Preman Bermain di Panggung Politik?

Judul Buku Politik Jatah Preman

Penulis Ian Douglas Wilson

Penerbit Marjin Kiri

Tebal Buku xxi+315 Halaman

Tahun Terbit 2018

ISBN 978-979-1260-83-1

Murdoch University memang menjadi salah satu lembaga pendidikan tinggi yang menarik jika mengkaji tentang Indonesia dari sudut pandang teori sosial kritis. Bagaimana tidak, hampir beberapa akademisi asal Murdoch selalu memberikan nuansa yang menarik, mulai dari Richard Robison, Vedi Hadiz, Airlangga Pribadi (dosen Universitas Airlangga, alumni Murdoch) sampai dengan Ian Douglas Wilson ini.

Diawali dengan karya Robison yang berjudul Indonesia, The Rise of Capital, lalu Vedi menulis bukunya yang berjudul Reorganising Power in Indonesia bersama Robison dan Palgrave pun menerbitkan karya Airlangga Pribadi yang berjudul The Vortex of Power. Semua buku tersebut memiliki satu kesamaan: menganalisis politik di Indonesia melalui pendekatan Marxian. Mulai dari kelompok teknokrat, birokrat, intelektual, sampai dengan preman menjadi lingkup kajian para intelektual asal Murdoch.

Baik buku yang ditulis Airlangga ataupun Vedi Hadiz selalu berhubungan dengan politik elektoral, sebut saja pemilu biar gampang. Bahasan semacam ini memang memiliki daya tarik tersendiri bagi khalayak umum di Indonesia. Buku satu ini pun tidak terlepas dari pemilu, meskipun menekankan kepada relasi preman dengan pandangan ekonomi-politik, dan berusaha melihat peran preman dalam pemilu maupun sebagai pengusaha keamanan. Seperti apa pembahasannya? Mari simak sebentar ulasan saya.

Seperti karya-karya ilmiah lainnya yang dipopulerkan oleh Penerbit Marjin Kiri, buku ini menyuguhkan kerangka teoritik yang kuat. Pada halaman satu, penulis mengutip salah satu akademisi sosial-politik terkenal bernama Charles Tilly mengenai hubungan antara pemerintah dan “para spesialis kekerasan”. Kelompok tersebut memiliki panggilan khusus di Indonesia: Preman. Ya, para preman ini memiliki caranya sendiri untuk masuk ke dalam sendi-sendi pemerintahan Indonesia.

Ian Wilson mengutarakan bahwa kelompok preman justru makin menjadi-jadi pasca Soeharto lengser dari tampuk kekuasaan. Peran preman yang dituliskan oleh Wilson mengutip dari penjelasan C.A. Trocki, dimana mereka tampil sebagai penerima politik elektoral demokratis, yakni sebagai kandidat, penggerak massa, mengancam pesaing, dan lain sebagainya. Adapun kutipan dari Mazaki dan Rozaki memperlihatkan bahwa pemerintah mengandalkan kekerasan yang ada di Indonesia.

Studi kasus yang disuguhkan pun dimulai dengan Orde Baru yang mempekerjakan preman sebagai alat negara guna menjatuhkan oposisi, menarik setoran dan mengawasi masyarakat. Berbeda dengan Orde Baru, garda preman dewasa ini memiliki identitas lokal. Kekuasaan para preman yang awalnya terpusat di Orde Baru, maka sekarang lebih bersifat kedaerahan. Wilayah kekuasaan mereka berada pada tataran kampung.

Kekuasaan spasial ini tidak hanya membuat politik nasional tidak lagi menggiurkan bagi para preman, namun kelompok-kelompok preman semakin menjamur pada tataran daerah seperti yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya. Dengan adanya desentralisasi, para preman dan “pengusaha kekerasan” dapat memperkuat dirinya dengan pemerintah yang secara bersamaan juga membuat mereka semakin mandiri dari sokongan pemerintah.

Pandangan diatas memperlihatkan bagaimana pemerintah justru dalam keadaan tergantung dengan para preman dan sebaliknya, para preman menjadi semakin mandiri. Pandangan ini ada benarnya di tataran politik lokal, dimana wilayah seperti Surabaya memang dikuasai preman tergantung pada wilayahnya. Sebuah partai bisa masuk dan mendapatkan dukungan apabila turut bekerjasama dengan para jagoan di sebuah daerah. Kita mengenal banyak istilah mulai jawara, jagoan, sampai dengan blater yang kerap diidentikkan dengan premanisme.

Studi kasus yang menarik juga disuguhkan oleh Ian Wilson dalam bentuk Tanah Abang. Menurutnya, ada pergeseran kekuasaan preman di sana yang mengikuti perubahan kekuasaan di Jakarta. DKI Jakarta sebagai ibukota menjadi tempat urbanisasi yang besar, dibalik kemegahannya, banyak kehidupan jalanan yang menjadikan preman sebagai sumber kewenangan informal dibalik perekonomian jalanan.

Tanah Abang dijadikan tempat relokasi bagi pedagang-pedagang kaki lima yang digusur oleh pemerintah dan dari sinilah para preman berjaya sebagai alat pengamanan pasar. Preman memiliki hubungan dengan pemerintah karena pengelola Pasar Tanah Abang adalah PD Pasar Jaya yang notabene merupakan perusahaan negara. Nama-nama seperti si Pitung dan Haji Sabeni lahir dari wilayah ini, bahkan kasus Hercules Rozario Marcal asal Timor Timur merupakan preman yang ada di Tanah Abang.

Preman-preman Tanah Abang menggunakan setiap jengkal tanah untuk alat memungut biaya, segala macam istilah uang di area ini juga diutarakan oleh penulis. Orang seperti Hercules merupakan hasil dari kerasnya kehidupan di Jakarta. Ia awalnya hanya penjaja rokok yang kerap dikompas (dimintai uang secara paksa, red) oleh preman-preman, namun melakukan perlawanan. Pada tahun 1993, namanya kian melejit dan makin banyak pengikutnya.

Kedekatan Hercules dengan Orde Baru bukan lah bentuk kesetiaan, akan tetapi lebih kepada strategi Hercules bersama gengnya untuk mempertahankan diri dan melakukan transaksi ekonomi: tugas-tugas kekerasan yang tidak bisa secara langsung dilakukan oleh pemerintah. Perpecahan dalam gengnya pun terjadi akibat tertembaknya anggota geng: Manuel Soares. Hal ini membuat beberapa pengikut Hercules justru pindah halauan ke SMID dan PRD dalam perjuangannya melawan rezim Orde Baru. Dulu kawan sekarang lawan.

Tindakan preman yang meminta uang kepada pedagang membuat para pedagang miris karena merasa pelindung mereka juga menjadi penghisap dalam satu waktu sekaligus. Pengejawantahan Wilson berkenaan dengan preman dapat disejajarkan dengan uraian Nigel Cawthorne mengenai Mafia sebagai kriminalitas terorganisir di Italia dan Amerika Serikat. Hanya berbeda perawakan, namun secara watak dan perilaku sama.

Nama-nama seperti Prabowo dan Sutiyoso juga disebutkan dalam buku ini sebagai “beking” dari kelompok-kelompok preman yang mereka bentuk sendiri. Menurut penulis, hal semacam ini sudah lazim. Menariknya, praktek “beking” semacam ini memang masih ada hingga sekarang. Tidak peduli wilayah perkotaan maupun pedesaan, preman tetap ada, namun “beking” biasanya ditemukan di perkotaan yang memiliki iklim kompetisi tinggi antar geng preman.

Pasca keruntuhan Soeharto dan masuknya Indonesia ke dalam Demokrasi Liberal, muncul pula satgas-satgas partai yang bertugas mengamankan partai politiknya, berbondong-bondong preman bergabung ke dalam satgas partai. Tugas satgas ini, seperti yang dituliskan oleh Wilson adalah sebagai pengaman acara kampanye atau konferensi partai, pengawal pribadi anggota senior partai, dan kader-kader akar rumput yang bertugas menyebar berita partai di tingkat lokal. Akan tetapi ada kerjaan sampingan yang menjadikan satgas partai menjadi preman dalam panggung politik.

Tugas sampingan tersebut adalah penyerangan terhadap jurnalis, mengintimidasi pesaing politik, bahkan warga juga menjadi sasaran intimidasi untuk mencoblos partai tertentu. Hal semacam ini sebenarnya sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat Indonesia, tapi baru Ian Wilson yang menuliskan dalam buku ilmiahnya. Dua partai yang sering disebut dalam buku ini yang memiliki satgas yang aktif: PDIP dan PKB. Keduanya memiliki caranya masing-masing untuk menggalang perlindungan dan memberikan pengamanan bagi konstituennya.

Uraian Wilson memang benar apabila mengaitkan PKB dan NU dengan Banser dan Ansor sebagai satgas mereka. Seperti yang dapat kita lihat dengan mata kepala sendiri, Banser maupun Ansor menjadi alat pengamanan agenda-agenda yang diselenggarakan oleh NU maupun PKB. Tidak hanya dititik itu, pasca pengeboman gereja di tahun 2000, kedua satgas ini juga menawarkan pengamanan gereja dengan bayaran. Keamanan menjadi salah satu sektor bisnis yang menarik baik bagi kelompok preman, maupun satgas partai.

Organisasi semacam Pemuda Pancasila, Front Pembela Islam, dan Barisan Serbaguna mungkin menjadi contoh besar organisasi/satgas yang cenderung dekat dengan kekerasan (terutama fisik). Nama-nama tersebut memberikan rasa takut bagi pendengarnya dan kebanggaan bagi mereka yang tergabung di dalamnya. Tindakan-tindakan mereka kepada khalayak umum di Indonesia selalu melibatkan faktor-faktor dan tujuan politis di belakangnya.

Karya Ian Douglas Wilson ini kurang lebih sama dengan buku Vedi Hadiz, Localising Power in Indonesia, namun studi kasus yang berbeda memberikan nuansa yang berbeda pula. Meskipun keduanya mengulas strongmen politics, Vedi lebih menekankan kepada keadaan pasca-otoritariannya, sedangkan Wilson lebih mengulas kondisi di lapangan dan hubungannya dengan teori ekonomi-politik dan politik-elektoral. Kesamaannya adalah penggunaan bahasa yang sama-sama rumit (bahkan buku Wilson ini terdapat istilah-istilah yang terdengar aneh).

Bagi para pembaca yang ingin mendalami strongmen politics, saya menyarankan untuk membaca Localising Power in Indonesia sebelum masuk ke Politik Jatah Preman ini. Kasus-kasus yang berkaitan dengan buku Wilson ini dapat kita temui di sekitar kita. Pasar yang berada di dekat rumah para pembaca pasti tidak terlepas dari biaya keamanan dari preman. (rez)

P.S. Resensi ini awalnya dimuat di situs web Klub Seri Buku. Ilustrasi oleh Faricha.