Asal-Usul Retaknya Hubungan Diplomatik Indonesia-Malaysia

Judul Buku  Konfrontasi, The Indonesia-Malaysia Dispute 1963-1966

Penulis  J.A.C. Mackie

Penerbit  Oxford University Press

Tebal Buku 368 Halaman

Tahun Terbit  1974

ISBN  0-19-638247-5

Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia yang terkenal dengan permainan katanya sekaligus kemampuan berpidatonya merupakan salah satu tokoh berpengaruh di tahun 1940-1960an di kancah politik mancanegara. Gerakan Non-Blok yang digaungkan olehnya dan Konferensi Asia-Afrika yang digelar di Bandung selama kepemimpinannya menandakan bahwa ia memang diperhitungkan oleh politisi dalam negeri maupun dunia internasional.

Namun kita harus sepakati bahwa di akhir masa kepemimpinannya, Indonesia dilanda banyak permasalahan. Yang paling terkenal adalah inflasi sebesar 650%, G-30S (Gerakan 30 September), dan Ganyang Malaysia. Indonesia yang saat itu sedang naik daun di panggung perpolitikan dunia memiliki harga diri yang sangat tinggi dan mudah terhina dengan perkataan politisi mancanegara. Tidak jarang Soekarno suka melawan dengan perkataan yang sama-sama provokatifnya.

Kebiasaan untuk melontarkan bahasa yang tidak awam dan provokatif ini terbukti menjadi tindakan yang kurang bijak. Tindakan semacam itu, namun tidak dibarengi dengan sumberdaya yang memadai tidak lebih hanyalah bualan atau gertakan semata tanpa berani melakukan pukulan, hasilnya adalah sebuah konflik remang-remang seperti dalam buku ini. Seorang peneliti asal Australia, Mackie berusaha mengulasnya dengan ilmiah dengan mempertimbangkan kedua sisi: Indonesia dan Malaysia.

Penulis menyatakan bahwa permasalahan antara Indonesia dan Malaysia pada tahun 1963-1966 ini merupakan konflik yang amat kecil dari sudut pandang militer namun tidak bisa diabaikan dalam hal politik, terutama hubungan antar negara. Peran negara seperti Filipina dan kebijakan dari Inggris, Australia, Amerika dan Rusia. Buku ini muncul untuk menelaah sebuah konflik hangat antara dua negara tertangga di Asia Tenggara.

Konfrontasi ini meningkat pada Juli sampai Desember 1964 dalam hal militer, Indonesia melancarkan apa yang disebut dengan Operasi Dwi Komando Rakyat (Dwikora) untuk menghadapi permasalahan di Kalimantan. Konflik di Kalimantan ini serat dengan perebutan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Banyak telaah yang muncul akibat tindakan agresif Indonesia kepada Malaysia, salah satunya adalah keinginan untuk membentuk Pan-Melayu.

Menariknya, Mackie menyampaikan bahwa konfrontasi yang dilakukan Indonesia terhadap Malaysia hanyalah gertakan ketimbang tekanan militer. Semua tindakan yang diambil oleh elit politik Indonesia hanyalah tindakan setengah hati dan tidak berusaha untuk benar-benar mengobarkan peperangan dengan negara tetangganya. Hal ini bisa dianggap demikiran karena di dalam negeri dari kedua negara menghadapi permasalahan yang serius sehingga memberhentikan konfrontasi tersebut.

Di Malaysia sedang terjadi konflik rasial antara penduduk Melayu dan Cina, sedangkan di Indonesia ada G-30S yang berakhir dengan hancurnya Partai Komunis Indonesia (PKI), turunnya Soekarno dan terbentuknya Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Menurut penulis, apabila kejadian-kejadian ini terlaksana 12 bulan kemudian, mungkin akan ada benturan militer di Sarawak antar kedua negara ini.

Revolusi yang terjadi di Brunei Darussalam pada 8 Desember 1962 menjadi pembuka konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia. Meskipun sentimen anti-Malaysia tidak begitu berkembang di Brunei, namun konflik itu menjadi alasan Indonesia untuk menuding Malaysia sebagai pendukung neo-kolonialis yang ditunggangi oleh Inggris. Tujuan yang diperkirakan dari tindakan Soekarno ini adalah menghalang-halangi pembentukan Malaysia.

Perilaku Indonesia ini dipicu dengan semakin dekatnya hubungan antara Cina dan Indonesia yang membentuk Poros Jakarta-Peking. Hal ini bisa terjadi karena perkembangan PKI dan kedekatannya dengan Soekarno kala itu. Ketua PKI pada masa itu, Dipa Nusantara Aidit mengikuti Poros Peking, berbeda dengan Njoto yang lebih dekat dengan Poros Moskow. PKI Poros Peking ini mempengaruhi Soekarno yang menuding musuh-musuh politiknya sebagai antek Neo-Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim), sebuah retorika lampau yang masih diikuti oleh kelompok nasionalis sekarang.

Perdana Menteri Malaysia saat itu, Tunku Abdul Rahmad dituding sebagai antek Inggris Raya oleh Soekarno karena Malaysia melakukan tekanan terhadap para pejuang kemerdekaan dari Brunei Darussalam. Salah satu propaganda yang dipakai oleh Soekarno adalah New Emerging Forces atau NEFO (negara dunia ketiga yang berusaha memerdekakan diri) melawan Old Established Forces atau OLDEFO (negara dunia pertama yang suka menjajah dan berusaha mengeksploitasi negara dunia ketiga bersama antek-anteknya).

Pertarungan kedua negara ini diperlihatkan oleh pemimpinnya, dimana Tunku Abdul Rahman menuding Indonesia berada dibalik pemberontakan di Brunei, dan dilawan oleh Soekarno dan Subandrio yang menganggap hal tersebut sebagai tudingan palsu. Soekarno menyatakan bahwa sentimen terhadap Malaysia sepenuhnya adalah masalah prinsipil dari doktrin pasca-KTT Asia-Afrika mengenai New Emerging Forces. Tunku bahkan menuding adanya pengaruh PKI terhadap tindakan Indonesia yang agresif kepada Malaysia, yang dibantah oleh Soekarno dan menuding Tunku sebagai anti-komunis.

Konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia ini juga terjadi pada ranah diplomatis, di mana penulis juga menjelaskan secara kronologis bagaimana usaha penyelesaian konfrontasi dilakukan. Kedua belah pihak sama-sama keras kepala, namun Malaysia, lebih tepatnya Tunku hanya ingin mengetahui alasan kenapa Indonesia begitu agresif terhadap Malaysia, sedangkan Indonesia memiliki alasan yang lebih ideologis.

Perseteruan kedua negara ini berusaha diselesaikan oleh pihak ketiga, yakni Filipina, namun baik perwakilan Malaysia, Tunku maupun perwakilan Indonesia, Subandrio, sangat tidak ramah terhadap satu dengan yang lain, meskipun mereka berdua menerima ajakan bernegosiasi oleh Filipina. Indonesia menganggap kerjasama Malaysia-Inggris akan membentuk sebuah pangkalan militer Inggris di Asia Tenggara.

Propaganda atau isu yang berkembang di Indonesia terkait konfrontasi ini berkutat kepada beberapa alasan: terbentuknya Malaysia sebagai boneka kepentingan Inggris, Malaysia menjadi ancaman atas keamanan Indonesia, dan keberlanjutan pengaruh neo-kolonialis di Asia Tenggara. Sejak 1962, Indonesia menganggap pembentukan Malaysia hanya untuk memenuhi kepentingan dagang maupun strategis (militer) yang bekerja-sama dengan kelompok feodal dan tokai-tokai tionghoa di Malaysia.

Kewaspadaan Indonesia ini juga muncul karena alasan sejarah, di mana Indonesia merasa bahwa kemerdekaan tidak semudah yang didapatkan oleh Malaysia. Ketika Indonesia ingin merdeka, negeri ini memberikan banyak negosiasi sekaligus pengorbanan dalam menghadapi imperialis seperti Belanda. Pemimpin kolonial tidak serta-merta memberikan kekuasaan mereka atas dasar kebaikan hati, bahwa menurut Soekarno, kemerdekaan itu harus direbut melalui perjuangan. Apabila kemerdekaan diberikan, maka negara yang mendapat kemerdekaan tidak lebih dari boneka negara nekolim atau negara yang tidak memiliki kepribadian.

Menteri Luar Negeri Indonesia juga menyatakan bahwa Malaysia tidak lebih dari kolonialisme Inggris dalam bentuk baru. Tujuannya adalah menjaga dan mempertahankan kepentingan ekonomi, politik, dan militer dari Inggris. Pandangan-pandangan yang dilontarkan oleh elit-elit politik Indonesia ini tidak terlepas dari kondisi politik Indonesia pasca-revolusi yang masih berapi-api meskipun sudah hampir dua dekade.

Indonesia yang pada zaman itu sangat anti-imperialis, menggunakan alasan keamanan sebagai penolakan terhadap terbentuknya Malaysia dikarenakan Indonesia merasa dikelilingi oleh agen-agen imperialis, Inggris dibalik Malaysia, Amerika dibalik Filipina dan Australia. Akan tetapi sampai berakhirnya konflik Malaysia-Indonesia, tudingan bahwa Inggris akan menjadikan Malaysia sebagai agen nekolimnya tidak terbukti, hal itu hanyalah ketakutan berlebihan dari Soekarno dan elit politiknya.

Masih banyak hal lain yang diulas oleh Mackie dalam buku setebal 368 halaman ini, ia berfokus kepada hubungan diplomatik yang retak antara Indonesia dan Malaysia semenjak awal 1960an. Permusuhan ini terbukti laten hingga beberapa tahun kemudian, masih ada sentimen anti-malaysia di Indonesia, bahkan beberapa perebutan pulau dan budaya dilakukan antara Indonesia dan Malaysia. Orang Indonesia juga sempat menyebut Malaysia sebagai Malingsia, karena asumsi bahwa tindakan mereka yang suka mencuri, baik kebudayaan maupun pulau.

Bagi para pembaca yang ingin mendalami konflik internasional, resolusi konflik dan diplomasi, saya sangat menyarankan buku ini sebagai pembuka sejarah konflik diplomatik Indonesia dengan negara tetangganya. Semoga resensi ini dapat memberikan manfaat atau paling tidak informasi singkat bagi para pembaca. (rez)