Asal Muasal Neoliberalisme

Judul Buku: A Research Agenda for Neoliberalism

Penulis: Kean Birch

Penerbit: Edward Elgar Publishing

Tebal Buku: x+193 halaman

Tahun Terbit: 2017

Beberapa hari yang lalu, saya membaca artikel wawancara antara majalah Jacobin dengan Daniel Zamora mengenai Foucault. Perbincangan yang menarik itu dimuat dalam website The Jacobin dan memperjelas pula kedudukan Foucault sebagai salah satu punggawa neoliberalisme. Lucunya, banyak yang membenci kata ini tapi tidak paham arti katanya. Tidak sedikit pula yang menolak untuk mempelajarinya, hanya karena dituding sebagai sumber eksploitasi. Itulah penyakit intelektual masa kini yang tergolong separatis antara satu sama lain hanya karena berbeda pandangan, intelektual jaman sekarang suka baper jika dikritik, terutama yang dari Indonesia. Tapi apakah para pemikir neoliberalisme sama? Mari kita cari tahu dari ulasan singkat dibawah ini.

Kean Birch menguraikan neoliberalisme sebagai istilah yang menggambarkan susunan yang ada dalam masyarakat dewasa ini. Istilah ini berkonotasi buruk, menghina dan kadang merendahkan pandangan pemikir yang menganggap bahwasanya pasar tidak perlu diintervensi (diganggu) dan diatur oleh pemerintah dalam hal kompetisi dan pembentukan harga. Orang seperti Friedman (Milton) beranggapan bahwa pasar sangatlah efisien dan akan membentuk harga yang paling murah. Hayek juga berpendapat mengenai pentingnya peran pemerintah hanya untuk memastikan pasar berjalan dengan baik. Namun pemerintah tidak boleh campur tangan terlalu dalam, karena mereka memiliki kemungkinan untuk menjadi otoriter dan mengganggu kestabilan pasar.

Mengartikan neoliberalisme sendiri ternyata bergantung pada sudut mana kita berdiri melihat asal muasal ideologi ini. Bagi kawan-kawan yang sudah dicekoki marxisme, pastinya selalu akan menghujat neoliberalisme sebagai iblis yang menghantui kehidupan para buruh. Untuk mereka yang terbuka pikirannya seperti Foucault, neoliberalisme adalah sebuah pandangan mengenai lapisan-lapisan yang ada di masyarakat, tidak hanya lapisan ekonomi akan tetapi juga budaya dan menjadikan neoliberalisme sesuatu yang pantas untuk didiskusikan di ranah akademis.

Menguak kisah neoliberalisme, ternyata bermula dari pandangan neo-konservatisme yang kerap ditempelkan pada Mahzab Chicago (ternyata Amerika punya mahzab) yang dimiliki oleh saudara Milton Friedman. Adapun yang mengatakan (Mirowski dan Plehwe) asal muasal neoliberalisme adalah Mont Pelerin Society (MPS) di tahun 1947. Yang pasti, neoliberalisme diawali dengan tumbangnya kapitalisme ala laissez-faire dari liberalisme di abad kesembilanbelas atau kisaran 1800an. Kelahiran kelompok liberal ini pada kisaran 1920an yang ditandai dengan munculnya Mahzab Ordo Liberal yang merupakan gabungan pemikir-pemikir liberal yang sebelumnya individualis, namun sekarang bergabung dalam satu kelompok tersebut. Beberapa mahzab lainnya ialah Mahzab Chicago, Mahzab Inggris (LSE), Mahzab Austria dan beberapa mahzab yang kalah namanya dengan pemikir marxis, namun lebih nyata dalam menyelesaikan masalah.

Ketika pertemuan di Colloque Walter Lippman tahun 1938 di Paris, para mahzab ini berkumpul dan secara tidak langsung menyebut diri mereka sebagai liberal baru (prototip neoliberal), namun pada saat ini masih belum ada sebutan neoliberalisme. Dalam pertemuan ini, para partisipan mendiskusikan mengenai cara-cara untuk menerapkan gagasan-gagasan liberal dalam sebuah kebijakan, bidikan mereka sudah memasuki tahap kebijakan yang diterapkan oleh negara, bukan hanya demonstrasi. Gaya berpikir semacam inilah yang membuat intelektual neoliberal acapkali beberapa dekade lebih maju ketimbang para aktivis marxis yang konon kabarnya menyebut diri mereka “progresi revolusioner”, padahal tidak.

Pasca pertemuan di Colloque Walter Lippman, kelompok pemikir ini menyebar ke hampir seluruh belahan dunia sebagai efek melarikan diri dari kejaran fasisme. Beberapa tahun kemudian, Friedrich Hayek menginisiasi pertemuan di desa Mont Pelerin, Switzerland dengan kawan-kawan “neolib” nya dan melahirkan MPS sebagai pusat pemikiran kolektif neoliberalisme. Beberapa tujuan dari MPS ini masih ada sampai sekarang, seperti: mendefinisikan ulang makna pemerintah agar dapat membedakan pemerintah fasis dengan liberal, analisa dan eksplorasi dari krisis masa kini agar menemukan pesan moral juga penyelesaian ekonominya, memunculkan metode untuk menetapkan sebuah peraturan agar kebebasan seorang manusia tidak menjadi basis bagi kekuatan predatoris, dan beberapa pandangan lain yang sampai sekarang (secara tidak sadar) masih kita gunakan.

Perkembangan neoliberalisme hingga dewasa ini jarang sekali menyebut diri mereka sebagai kelompok neoliberal, karena konotasi buruk yang disematkan oleh musuh mereka. Naasnya, musuh mereka ini tidak memahami betul apa yang harus dilakukan sehingga jatuh hanya pada wacana dan fungsi kritik saja tanpa solusi yang kuat, tidak seperti golongan neoliberal. Kelompok neoliberal juga mengembangkan pandangan ideational yang mampu menjelaskan kenapa sebuah organisasi kerap berubah-ubah (sesuai kebutuhan organisasi). Neoliberalisme ini sangat menarik dibahas karena kedekatannya dengan konsep governmentality yang dibawa oleh Michel Foucault, meskipun menurut Birch konsep tersebut masih kurang dinamis.

Masih banyak lagi yang dibahas oleh Kean Birch dalam bukunya ini. Saya sangat merekomendasikan untuk membeli dan membaca buku ini agar kita memahami dengan komprehensif makna dari neoliberalisme, baik secara sosial-politik maupun ekonomi. Dengan penggunaan bahasa yang bisa dibilang keluar koridor “ilmiah” dan terkesan komunikatif, ini adalah buku Penerbit Edward Elgar yang tidak membosankan, jarang bisa menemukan buku ilmiah dengan bahasa yang renyah semacam ini. (rez)