Judul Buku: How To Do Critical Discourse Analysis
Penulis: David Machin & Andrea Mayr
Penerbit: Sage Publications
Tebal Buku: 236 halaman
Tahun Terbit: 2012
Kalangan aktivis, terutama yang berada didalam kampus, kerap menyampaikan mengenai diskursus, analisa diskursus, analisa wacana hingga diskursus wacana (wacana-wacana). Keterbatasan dalam mengelola informasi dan juga mendapatkan akses informasi juga menjadi alasan kenapa mereka sangat hebat dalam berbicara namun tidak paham akan apa yang dibicarakan. Semangat membaca para aktivis ini sangat tinggi, namun hanya membaca apa yang ingin mereka baca, sehingga sudut pandangnya pun terlampau sempit. Ada asiknya jika semua buku berusaha dipahami dan dimaknai, maka dari itu muncul analisa diskursus kritis (critical discourse analysis/CDA). Untuk memahami apa itu CDA, saya berusaha merangkum sedikit dari buku daras mengenai CDA ini, selamat menikmati.
Jika bicara mengenai CDA maka kita berbicara mengenai pencarian makna, berusaha melakukan interpretasi. Namun apa yang kita interpretasikan? Fenomena. CDA sendiri muncul utamanya untuk menganalisa pembicaraan, ceramah dan pidato yang disampaikan seseorang, juga teks-teks yang ditulis oleh seseorang sehingga peneliti mampu menangkap makna yang berusaha disampaikan oleh yang diteliti. Gaya analisa ini merupakan keturunan dari analisa konten (content analysis) namun dengan cakupan yang lebih luas, yakni bahasa dengan gaya interpretasi dari cultural studies. Bahasa dan tatanan kalimat dapat mengarahkan pembaca atau pendengar kepada sebuah kesimpulan tersendiri yang memang menjadi tujuan, baik penulis ataupun pembicaranya.
CDA tidak terlepas dari perkembangan ilmu linguistic kritis (critical linguistic) yang dikembangkan oleh Roger Fowler dan kawan-kawannya di tahun 1979 yang membicarakan bagaimana kata dan kalimat dapat digunakan untuk penyebaran sebuah ideologi secara terselubung. Dalam buku ini, CDA digambarkan sebagai bagian dari visual analysis yang menganalisa gerak-gerik seseorang dari media massa dan menjadi bagian dari media and cultural studies. Namun semuanya tidak terlepas dari penggunaan bahasa sebagai alat utama untuk melakukan interaksi sosial antar manusia. Bahasa berhubungan erat dengan bagaimana kita bertingkah dan bagaimana kita berhubungan dengan orang lain. Bahasa merupakan bagian dari cara manusia melihat dunia ini, entah baik maupun buruk. Budaya sendiri terbentuk karena bahasa yang sudah biasa digunakan oleh masyarakat di suatu tempat.
Diskursus mendapat peran penting yang mendasar dalam CDA, akan tetapi, perlu diejawantahkan terlebih dahulu arti dari diskursus itu sendiri. Diskursus dalam buku ini diartikan sebagai bahasa dalam arti yang sesungguhnya tanpa ada interpretasi lebih lanjut. Posisi diskursus sendiri begitu luas. Diskursus biasanya digunakan untuk menangkap sebuah fakta yang nanti akan disampaikan dalam arena sosial, politik dan budaya yang berbeda. Adapun makna lain diskursus adalah sebuah ide luas yang dijelaskan melalui dua komponen bahasa: kata dan kalimat. Agar kita mampu memahami diskursus dan ideologi yang ada dalam sebuah pidato atau teks maka kita harus melihat kemungkinan-kemungkinan pemilihan atau penggunaan tiap kata dalam sebuah pembicaraan atau teks. Perbedaan kata yang digunakan akan memunculkan perbedaan interpretasi pula dan akan berujung kepada kesesatan dalam pengartian atau pemaknaan. Contoh: “pengungsi adalah sebuah ancaman terhadap kesatuan dan persatuan bangsa kita” (Refugees are a threat to our national unity), kita dapat merasakan saratnya ideologi nasionalisme dalam kalimat tersebut, meskipun tidak disampaikan secara langsung.
Menggunakan CDA berarti mempertanyakan kekuasaan. Seperti yang kita ketahui, kekuasaan muncul karena seseorang yang dapat lebih mengakses sumber daya ketimbang mayoritas lainnya. Dari kelebihan akses ini muncul kelebihan individu (kekayaan atau kepandaian) yang memunculkan stratifikasi. Status lah yang akan dikejar oleh orang yang “berlebih” ini dan pada saat mendapatkan status yang cukup tinggi, akan digunakan untuk mendominasi kelompok lain yang lebih rendah statusnya, dari sinilah muncul teori Elite-Massa. Tujuan CDA adalah menguak hubungan sosial semacam apa yang ada dalam sebuah teks (lisan maupun tulisan) secara eksplisit maupun implisit. Dunia dibentuk seperti apa melalui teks yang sudah sarat dengan kekuasaan. Pasti ada blueprint dalam sebuah teks kekuasaan baik berupa propaganda ataupun pidato, bahkan perdebatan pun.
Saya mencoba menuliskan dengan singkat peng-klasifikasi-an yang dilakukan melalui CDA: personalisasi dan impersonalisasi, individualisasi dan kolektivisasi, spesifikasi dan generalisasi, nominalisasi dan fungsionalisasi, representasi individu melalui jabatan yang diterima, anonimisasi (dihilangkan nama pemberi informasi karena sesuatu), agregasi (di-angka-kan), perbedaan antara “kita” dan “mereka” (menandakan adanya perpecahan dan perbedaan kubu), surpresi. Penggunaan bahasa dalam CDA sangat penting dan diperhatikan, tiap kata merepresentasikan sebuah pesan yang ingin diberikan kepada pembaca atau pendengar (komunikan). Dan asumsi utama CDA, bahwa tiap pesan pasti memiliki unsur politisnya.
Dalam berkata atau menulis, subjek akan menempatkan diri. Penempatan diri ini tadi akan dianalisa melalui CDA untuk melihat apa yang ingin disampaikan oleh si pembicara atau penulis. Ada pembicara atau penulis memberikan jarak dengan apa yang dia bicarakan atau dia tulis dengan asumsi utama bahwa mereka tidak suka dengan objek (objek akan dianggap inferior). Yang kedua, bisa saja penulis atau pembicara menempatkan diri sebagai yang menghadapi objek (berhadapan tidak selalu bertengkar atau berseteru), bahwa mereka mengamati obyeknya dari dekat. Namun posisi objektivikasi subjek yang akan dilihat lebih lanjut oleh para peneliti yang menggunakan pendekatan CDA ini. Munculnya posisi subjek yang superior dan objek yang inferior menjadi salah satu unsur sebuah penelitian menggunakan CDA sebagai alat untuk menganalisis data.(rez)