Judul Buku: The Father of Jihad
Penulis: Muhammad Haniff Hassan
Penerbit: Imperial College Press
Tebal Buku: 368 halaman
Tahun Terbit: 2013
ISBN-13: 978-1783262878
*** Resensi ini turut diunggah di situs web penulisnya, Muhammad Haniff Bin Hassan.
Bagi mereka yang mendalami tentang Jihad, terutama akademisi atau pembuat kebijakan yang berkaitan dengan “terorisme”, pasti tidak asing dengan nama Abdullah Azzam, salah satu ideolog Makhtab Al-Khidmat (MAK), embrio dari Al-Qaeda. Beliau adalah jihadis fenomenal yang khutbahnya disandingkan dengan seruan-seruan Che Guevara perihal perjuangan dan perlawanan, namun karya dan pemikirannya masih sangat jarang diulas oleh akademisi.
Buku karya Doktor Haniff Hassan ini menarik karena menjadi satu-satunya buku yang mengulas pemikiran Abdullah Azzam sebagai penggagas gerakan Jihad global. Penulis mengulas Azzam melalui karyanya: buku dan naskah pidatonya, untuk memperlihatkan perkembangan pemikiran dalam diri Jihadis Afghanistan ini. Ada dua aspek pemikiran Azzam yang berdampak kepada kebijakan keamanan nasional di berbagai negara.
Pertama, ialah kewajiban bagi seorang muslim untuk mengambil kembali wilayah umat Islam yang sekarang sedang diduduki oleh pemimpin non-muslim. Kedua, kewajiban untuk memerangi wilayah non-Muslim lainnya hingga mereka tergabung dalam Negara Islam (atau bisa disebut dengan Ke-Khalifahan Global).
Menariknya, pandangan-pandangan Jihad yang dikobarkan oleh Abdullah Azzam nyatanya berbeda dengan Jihad gaya Al-Qaeda dan kelompok jihadis arusutama lainnya. Perbedaan ini justru bisa menjadikan pemikiran Azzam menjadi tandingan bagi pandangan Jihad lainnya, bahkan senjata deradikalisasi. Aspek Jihad Azzam menjadi oposisi karena menolak memberontak pada pimpinan yang beragama Islam dan penyerangan yang membabi-buta, juga menolak menggunakan cara-cara yang menebar teror.
Ancaman Terorisme
Menurut penulis, terorisme sebelum 9/11 adalah permasalahan yang sifatnya lokal atau nasional, terbatasi oleh wilayah-wilayah kekuasaan sebuah negara. Kasus-kasus sebelum 9/11 pun memang bersifat domestik (Taliban hanya beroperasi di Afghanistan, begitupula Al-Qaeda hanya memiliki yurisdiksi yang kecil). Akan tetapi semenjak serangan 9/11 menandakan perubahan metode penyerangan kelompok teroris yang menganggap bahwa penyerangan harus dibawa ke ranah mancanegara, bahwa ada far-enemy yang juga harus dibasmi dan menjadikan kasus ini sebagai permasalahan keamanan global.
Perubahan ini dikarenakan berubahnya karakter para Jihadis (mujahidin) yang ingin membawa peperangan kepada musuhnya. Negara yang menjadi sasaran adalah Amerika Serikat utamanya, dengan negara-negara lain, bahkan yang berpenduduk muslim, yang berkolaborasi dengan AS dalam memerangi kelompok mujahidin ini. Negara yang tidak ikut-ikutan, namun dianggap memiliki kebijakan yang represif terhadap umat Islam oleh para Jihadis, seperti Filipina, Cina, Thailand, India & Rusia juga menjadi sasaran mereka.
Serangan 9/11 juga menjadi pemicu persebaran tindak terorisme, karena dianggap memperlihatkan titik lemah sekaligus dampak tindak terorisme kepada negara yang disasar (AS). Umpan balik AS dengan menyerang Afghanistan dan Irak justru membuat banyak Muslim malah mendukung tujuan-tujuan kelompok teroris yang digambarkan dengan penyerangan di Madrid, London, Istanbul, Bali, Jakarta dan banyak wilayah lainnya. Akan tetapi dengan kemunculan inisiatif berbagai negara dalam menghadapi terorisme, kelompok teroris seperti IRA justru memilih untuk menghentikan aktivitasnya untuk menjaga kelangsungan hidup dari tujuan mereka.
Mujahidin sebagai Sumber Kelompok Teroris
Dengan mendominasinya kelompok Jihadis dalam ranah terorisme, mereka adalah satu-satunya kelompok yang bertahan, salah satunya adalah Al-Qaeda (lalu ISIS). Menurut penulis, telah menjadi sebuah kewajiban untuk mendirikan Negara Islam (Islamic State) yang dikelola oleh pemimpin yang beragama Islam sebagai jalan untuk mencapai gaya hidup yang benar-benar Islami. Namun Hassan berkilah bahwa tidak seluruh umat Islam yang ingin gaya hidup Islami adalah mujahidin. Adapun mereka yang menginginkan hal yang sama dengan kelompok mujahidin namun memilih untuk menempuh jalur damai dan demokratis (kalau di Indonesia PKS).
Para Jihadis ini mempercayai bahwa non-muslim tidak akan membiarkan umat Islam untuk hidup dengan damai, dan Jihad bersenjata adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan supremasi (kekuasaan) bagi Islam. Pandangan ini selalu diulang-ulang oleh Osama bin Ladin saat berpidato. Mereka menganggap Jihad adalah kewajiban semua muslim karena banyak wilayah umat Islam yang diduduki oleh non-muslim dan harus direbut kembali dibawah ke-Khalifahan Islam.
Jihadis ini dianggap sebagai kelompok teroris karena menyasar masyarakat sipil dan kelompok tak bersenjata dengan alasan: Membalaskan dendam penduduk muslim yang mati ditangan musuh, penduduk sipil di negara musuh bertanggungjawab atas tindakan pemerintahnya dengan memilih pemerintah tersebut dalam pemilunya, dan tindakan tersebut adalah necessary evil (kejahatan yang dibutuhkan) untuk kebaikan bersama.
Salah satu metode yang paling sering digunakan kelompok mujahidin ini adalah bom bunuh diri yang disebut sebagai amaliyat istishhadiyah atau operasi syahid. Kematian para Jihadis dalam usaha memperjuangkan Islam tidak dianggap sebagai bunuh diri yang haram dalam Islam, melainkan mati syahid. Kelompok Jihadis ini juga memiliki pandangan yang sama dalam melihat dunia: mereka versus musuhnya, musuhnya selalu berkonspirasi melawan mereka, dan selalu menggunakan penyederhanaan juga generalisasi.
Pandangan Azzam Mengenai Jihad
Dalam perjuangan awalnya, beliau berhubungan dengan Ikhwanul Muslimin (PKS kalau di Indonesia) yang didirikan oleh Syaikh Hasan Al-Banna, maka dari itu, pandangan-pandangan awalnya mengenai Islam sedikit banyak terinspirasi oleh Hasan Al-Banna dan Sayyid Quthb, juga Ibnu Taimiyah.
Pandangan Azzam mengenai dunia seperti yang dikejawantahkan oleh Haniff Hassan adalah sebagai berikut: Islam diatas agama lainnya dan menjadi satu-satunya agama yang diakui Tuhan; Allah adalah Dzat Yang Maha Kuasa, Yang Berhak menentukan mana yang halal dan haram dimana manusia hanya menjadi Khalifah untuk menegakkan aturan-Nya; Islam adalah satu-satunya jalan paling komprehensif untuk seluruh manusia, segala kebaikan seperti keadilan, kebebasan dan kebahagiaan hanya didapatkan melalui ajaran Islam; Muslim wajib mempertahankan dan melaksanakan Islam secara totalitas; inti dari Islam adalah Tauhid dan hidup dengan menjalankan syariat adalah implementasi ke-Tauhid-an; cara terbaik untuk memahami Tauhid dan melaksanakan syariah adalah dengan mengikuti pandangan Salafi.
Pandangan lainnya dari Azzam adalah: terbentuknya Negara Islam atau ke-Khalifahan sangathlah mendasar dalam menegakkan Islam sepenuhnya; Muslim mempunya kewajiban untuk memastikan bahwa Islam akan menguasai dunia untuk membentuk kembali ke-Khalifahan; Kehidupan adalah pertarungan secara berkelanjutan antara kebenaran (Islam) dengan kobohongan (jahiliyah/ kepercayaan lainnya); Jihad bersenjata untuk supremasi Islam adalah fitur utama dalam kehidupan umat Islam; umat Islam diharuskan bersikap waspada, tegas, keras, dan ketat terhadap orang kafir; Muslim harus mengikuti pandangan dalam kitab Al-Wala’ wal Bara’; dan perting untuk membentuk kelompok inti umat Islam sepertu Al-Qaeda yang berkomitmen untuk memberikan pendidikan dan pelatihan berkenaan dengan pendidikan Agama Islam dan pelaksanaannya, termasuk Jihad bersenjata.
Dalam beberapa tulisan Azzam seperti Al-Aqidah wa Atharuha Fi Bina Al-Jayl (Keimanan terhadap Islam dan dampak Perkembangannya) bahwa ia juga terinspirasi dari Ibnu Taimiyah berkenaan dengan pandangan Salafinya dan penolakannya terhadap Sufisme. Partisipasi Azzam dalam perjuangan di Afghanistan tidak hanya untuk mempertahankan wilayah umat Islam dari invasi Soviet, namun juga memperjuangkan pandangan duniawinya.
Azzam mendefiniskan Jihad dari Al-Qur’an dan Al-Hadis sebagai perlawanan terhadap orang kafir yang dikejawantahkan oleh keempat Mahzab dalam Islam. Memperluas pemaknaan Jihad baginya akan mengacaukan perintah dalam Al-Qur’an untuk melawan orang kafir yang sudah menjadi kewajiban seluruh umat Islam di dunia. Kata fisabilillah (di Jalan Allah) yang acapkali disandingkan dengan Jihad juga bermakna berperang melawan orang kafir. Jihad adalah puncak keimanan seorang Muslim menurut Abdullah Azzam.
Sang mujahid juga mempercayai bahwa Jihad di awal peradaban Islam membawa Agama ini ke dalam masa kejayaan. Ia menganalisis hijrah Rasulullah Muhammad S.A.W dan kewajiban untuk melaksanakan Jihad membuat banyak orang Arab untuk masuk ke dalam Islam. Jihad umat Islam lah yang menghancurkan dua negara adikuasa pada saat itu, Persia dan Romawi, dibawah kepemimpinan Para Khalifah. Dampaknya tidak hanya perluasan wilayah namun juga semakin bertambahnya kekayaan peradaban Islam. Dimana pada tahun-tahun selanjutnya membuat Islam menjadikan Islam sebagai entitas politik dan peradaban hegemonik yang dihormati sekaligus ditakuti dalam pandangan orang kafir.
Ia percaya bahwa Islam tidak akan menjadi seperti masa keemasannya apabila umat Islam meninggalkan jalur Jihad. Sebuah pandangan yang sama dengan Al-Faraj. Tanpa Jihad maka umat Islam akan dikalahkan oleh kesesatan secara ekonomi, politik, kebudayaan dan ketentaraan. Jihad adalah jalan untuk menegakkan Hukum Allah S.W.T dan melawan tujuan buruk dari kelompok-kelompok yang sesat. Ajaran Islam mengenai kesabaran dan kepasrahan tidak akan tercapai apabila seorang Muslim belum teruji dalam ber-Jihad dalam peperangan.
Sang mujahid juga membagi wilayah menjadi empat: Darul Islam (Negara Islam); Darul Harbi (Wilayah Perang atau daerah konflik) dimana umat Islam di tekan oleh pemerintahnya yang bukan umat Islam; Darul Al-Ahd, yakni negara yang berdamai dengan Islam, tidak menjadi sasaran Jihad bersenjata (salah satunya adalah PBB); dan Negara lainnya yang penduduknya muslim tapi hukum yang berlaku bukanlah Hukum Allah.
Ada empat tahapan ber-Jihad menurut Azzam yang dikejawantahkan dalam buku ini: Hijrah yang dimaksudkan adalah berpindah tempat ke Darul Islam; I’dad yakni persiapan berperang pasca berhijrah, termasuk di dalamnya adalah pelatihan fisik dan perang, begitupula pengembangan spiritual dan pemikiran dalam ranah fiqh dan aqidah juga fikrah (bagian ini pengembangan spiritual dan intelektual penting agar para mujahidin tidak berubah menjadi penjarah); Ribat dimana umat Islam mulai masuk ke dalam medan perang yakni Darul Harbi, mereka yang mati dalam tahapan ini adalah orang yang mati syahid, mereka harus membuat pos-pos pertahanan; dan yang terakhir adalah Jihad itu sendiri.
Jenis Jihad menurut Abdullah Azzam ada dua: Jihad Al-Daf (jihad untuk mempertahankan diri), adalah Jihad yang diwajibkan untuk seluruh umat Islam dalam daerah konflik untuk mempertahankan dirinya, apabila mereka tidak mampu, maka seluruh umat Islam dalam kisaran 90km harus memberikan pertolongan kepada mereka, kalau masih tidak memadai, maka seluruh umat Islam di dunia harus masuk ke dalam medan perang; dan Jihad Al-Talab (jihad untuk menyerang musuh) yang merupakan Jihad untuk melawan Darul Harbi, Jihad macam ini harus dilaksanakan setahun sekali oleh pemimpin Islam.
Jihad akan menjadi Fardhu Kifayah minimum setahun sekali, namun semenjak kejatuhan Andalusia di tangan umat Nasrani di tahun 1492, maka Jihad menjadi Fardhu Ayn yang harus dilaksanakan terus-menerus sampai wilayah jajahan tersebut kembali ke tangan umat Islam. Beberapa karyanya memperlihatkan bahwa Ilmuan Muslim bersepakat apabila Jihad hukumnya telah menjad Fardhu Ayn apabila ada satu inci wilayah umat Islam diambil oleh orang kafir, salah satunya adalah Afghanistan yang akan diduduki oleh Uni Soviet.
Dalam ber-Jihad adapun Daf al-Sail, dimana umat Islam wajib mempertahankan harkat dan martabatnya apabila diserang. Istilah ini meskipun mengacu kepada individu, namun bisa digunakan untuk menjustifikasi Jihad dalam taraf nasional. Karena Jihad semenjak kejatuhan Andalusia adalah Fardhu Ayn, maka dalam ber-Jihad tidak diperlukan meminta izin kepada siapapun, bahkan orang tua.
Jihad harus mengalahkan kepentingan pribadi karena untuk kebaikan yang lebih besar (greater good). Muslim wajib mendonasikan kekayaannya untuk Jihad daripada mengumpulkan kekayaan untuk kepentingan pribadinya. Azzam pun berpendapat, diperbolehkan untuk menggunakan Zakat untuk Jihad, meskipun pada akhirnya tidak menyisakan apapun untuk tujuh orang yang seharusnya menjadi sasaran Zakat. Menyumbang untuk Jihad bukan berarti membebaskan seorang Muslim dari kewajiban ber-Jihad itu sendiri.
Partisipasi dalam ber-Jihad tidak diwajibkan apabila, Jihad tidak dalam keadaan Fardhu Kifayah apalagi Fardhu Ayn (yakni tidak saat Darul Islam telah ditegakkan, atau wilayah yang sedang mempertahankan dirinya dari serangan kafir bisa mempertahankan dirinya sendiri). Umat Islam diperbolehkan untuk mundur dari peperangan apabila jumlah musuh melampaui mereka, ini diperbolehkan apabila Fardhu Kifayah, namun ketika Fardhu Ayn, maka seorang Muslim harus terus berperang meskipun sendirian (darah penghabisan).
Sasaran Jihad menurut Azzam adalah petarung kafir, perompak/perampok/bandit, pemberontak. Dalam ranah orang kafir, hanya petarung yang diperbolehkan menjadi sasaran ber-Jihad. Jihad harus mengikuti the rules of engagement. Namun harus mengutamakan untuk dakwa sebelum ber-Jihad apabila menghadapi pemberontak atau perompak dkk. Menariknya, Azzam tidak memperbolehkan menyerang masyarakat sipil (perempuan, anak-anak, lansia, orang tak bersenjata dan pendeta).
Azzam juga mengharamkan untuk menyerang dhimmiys dan mereka yang telah membuat perjanjian damai dengan umat Islam dan mereka yang telah menyerah. Ia juga menghimbau untuk menghancurkan properti atau barang seminimal mungkin, diharukan menyerang titik lemah musuh namun tidak menghancurkan infrastruktur sepenuhnya. Beliau sangat memegang teguh pandangan bahwa dilarang untuk membunuh umat Islam. Nyawa umat Islam sangatlah berharga seperti Mekkah bagi seluruh umat Islam. Namun aturan ini tidak berjalan untuk Azzam bagi Muslim yang bertarung bersama rezim komunis Afghanistan, mereka adalah orang sesat.
Perjanjian damai yang menghentikan Jihad dalam waktu yang tidak ditentukan, terumata Jihad yang Fardhu Ayn tidak diakui oleh Azzam. Perjanjian damai boleh ditandatangain apabila sudah mengklaim kembali tanah kekuasaan umat Islam. Namun ketika perjanjian damai sudah ditandatangani, seluruh umat Islam wajib melaksanakan perjanjian tersebut.
Membunuh tahanan perang diperbolehkan apabila mereka menolak untuk berjalan bersama Jihadis dan apabila mereka sakit dan tidak mampu berjalan, membuat mereka menjadi beban. Namun semuanya kembali pada diskresi dari pihak yang berwenang. Tapi Azzam dengan tegas menolak penyiksaan terhadap tahanan perang.
Dampak Gagasan Azzam terhadap Keamanan Nasional
Karena pandangannya yang menganggap bahwa tanah-tanah kekuasaan umat Islam harus dibawah dikembalikan kepada mereka, maka pandangan ini dapat mengganggu keamanan negara-negara yang dulunya pernah dibawah kekuasaan Islam seperti Palestina, Spanyol, Hungaria, Bulgaria, Chechnya, bahkan Singapura, menurut Haniff Hassan. Jihad bersenjata wajib dilakukan untuk negara-negara ini, seluruh Muslim yang hidup di negara tersebut harus berusaha menegakkan Darul Islam, jika tidak mereka akan mati dalam keadaan penuh dosa.
Pandangan Azzam juga memfasilitasi terbentuknya kelompok-kelompok seperti Al-Qaeda yang akan menggulirkan Jihad di berbagai belahan dunia. Karena Ia memercayai Jihad Al-Talab dimana peperangan adalah jalan terakhir, maka seluruh umat Islam pada akhirnya harus memerangi kelompok-kelompok kafir. Karena Fardhu Kifayah untuk melaksanakan Jihad Al-Talab, maka paling tidak setahun sekali umat Islam harus melancarkan serangan pada negara-negara yang menolak untuk masuk ke dalam Islam yang hanya dapat dihentikan melalui perjanjian damai dan gencatan senjata secara temporer. Dampaknya adalah seluruh negara di dunia akan menghadapi peperangan secara konstan.
Akibat pertarungan ideologis, sebenarnya sekutu Azzam adalah Amerika Serikat dan Saudi Arabia yang berusaha mengeluarkan komunisme dan Uni Soviet dari Jazirah Arab.
Sudut pandang Abdullah Azzam juga bisa dijadikan alat melawan pandangan berbahaya yang dibawa Al-Qaeda sekarang, yakni: menghimbau untuk tidak memberontak terhadap pemimpin yang beragama Islam; menghimbau untuk tidak menyerang negara-negara Barat, tidak memperbolehkan pengikutnya untuk menganggu kehidupan umat Islam lainnya.
Adapun Azzam menghimbau untuk: tidak melaksanakan serangan yang membabi-buta yang berdampak kepada kematian masyarakat sipil; tidak berperang diluar zona konflik; tidak menggunakan taktik teror seperti pemboman, penculikan, perampokan, dan pembajakan. Di berbagai negara, pandangan semacam ini bisa digunakan untuk melakukan deradikalisasi dan mencegah tindakan terorisme.
Belum ada buku yang mengulas pemikiran Abdullah Azzam secara mendalam bahkan layaknya Biografi Pemikiran serinci karya Muhammad Haniff Hassan ini, dan memang tidak ada. Pembahasan mengenai kelompok teroris dewasa ini selalu berfokus pada kelompok, namun tidak mendalami watak para ideolognya, sehingga kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yang mempelajari buku-buku terorisme selalu bersifat reaktif karena tidak memahami alam berpikir para Jihadis/mujahidin. (rez)
*** Resensi ini turut diunggah di situs web penulisnya, Muhammad Haniff Bin Hassan.